Dahulu kala
kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di
Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu
ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.
Terkenallah
pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama
Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan
sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui
kerongkongannya.
Kejelitaan
dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera
berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji
Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.
Sebelum Raja
Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan
santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji
oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan
dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina
itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung
dengan mulut seperti anjing.
Betapa
jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu
tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai
santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka
sambil berkata, "Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara
makannya saja menyesap seperti anjing."
Penghinaan
yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu.
Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan
murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan
Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala
tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.
Perang
dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari
laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih.
Ternyata
tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk
dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa
sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh
tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.
Putri pun
segera makan sirih seraya berucap, "Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka
jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh
bala tentaranya." Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke
arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi
berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang
bala tentara Cina yang sedang mengamuk.
Bala tentara
Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang
mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya.
Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan
lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan
itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk
membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus
sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun
lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.
Sementara
itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya
putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu.
Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu
daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau
Lipan.
(Disadur dari Masdari Ahmad,
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1979)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for comment